Sejarah Nama Gropet Menurut Inad Luciawaty

by -37 Views
inad luciawaty 4

RadarKota – Tidak mudah melacak arti kata Grogol Petamburan dan kisah di balik penamaan wilayah itu. Di peta peninggalan Hindia-Belanda tidak ada wilayah tersebut. Yang ada adalah Grogol dan Petamburan, dua tanah partikelir (particuliere landerijen) yang muncul sejak abad ke-18 dan 19.

Tanah partikelir Grogol kini menjadi Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat. Tanah partikelir Petamburan kini menjadi Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Jadi, di atas tanah apa, atau siapa, kini Kecamatan Grogol Petamburan berdiri.

Menurut Inad Luciawaty, yang saat ini maju sebagai calon anggota legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) nomor urut 3, sejauh ini seperti tertera di banyak situs, ada empat versi tentang grogol. Pertama, Grogol berasal dari garogol, kata dalam Bahasa Sunda, yang artinya jebakan hewan, berupa lubang dengan banyak kayu runcing di dasarnya.

Kedua, grogol adalah kata dalam Bahasa Jawa. Menurut situs puromangkunegaran.com, grogol artinya tempat mengikat hewan hasil buruan sebelum disembelih. Ada Desa Grogolan di Perkampungan Kota Mangkunegaran, yang diyakini tempat mengikat hewan hasil buruan. Hal tersebut diungkapkan Inad, berdasar informasi buku yang dia baca berjudul Toponimi Jakarta Barat, yang ditulis oleh dua wartawan senior, Amin Suciady dan Teguh Setiawan.

Ketiga, sambung Inad yang akan bertarung di daerah pemilihan 10 Jakarta Barat, meliputi Kecamatan Grogol Petamburan, Kecamatan Taman Sari, Kecamatan Kebon Jeruk, Kecamatan Palmerah dan Kecamatan Kembangan, grogol dalam Bahasa Jawa punya arti lain. Dalam Babad Ponorogo disebutkan grogol adalah tempat mengintai hewan buruan. Di Ponorogo terdapat Desa Grogol, yang diyakini pernah menjadi tempat Sultan Mangukurat Mas, saat mengungsi akibat perebutan kekuasaan di keraton, mengintai hewan.

Keempat, yang tidak pernah disebut penulis toponimi, adalah grogol salah satu jenis padi. Biasa disebut padi grogol. Bondan Kanumoyoso, dalam Beyond The City Wall: Society and Economic Development in the Ommelanden of Batavia, 1684-1740, mengutip laporan kepala distrik Jatinegara tentang padi grogol, yang dibudi-dayakan VOC sebagai pakan ternak. Laporan yang ditulis Aria Surawinata juga menyebutkan dua jenis padi lain yang dikembangkan untuk makanan ternak dan kuda, yaitu tzjokrom dan omas.

Kelima, atau yang terakhir, grogol berasal dari nama Sungai Grogol yang bermata air di Desa Kedungbadak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sungai Grogol mengalir ke utara di antara Sungai Krukut di sebelah timurnya dan Sungai Pesangrahan di sebelah barat. Pada awal pembukaan wilayah Ommelanden, Sungai Grogol disodet dan airnya dialirkan ke kanal yang melewati wilayah Kecamatan Grogol Petamburan.

Mauritz Theodorus Hilgers, pemilik pertama Landgoed Grogol, yang menggali kanal itu. Dalam salah satu peta koleksi Frederick de Haan terdapat keterangan Gegraven Grogol, yang artinya penggalian saluran Grogol. Jalan di tepi kanal disebut Hilgersweg. Untuk mengangkat permukaan air kanal, Hilgers membangun bendungan di mulut kanal, tepat di depan Ciputra Mall saat ini.

Pertanyaannya, mana yang paling mendekati?
Masih bersumber dari buku Toponimi Jakarta Barat, tambah Inad, dalam peta Hindia-Belanda, Petamburan ditulis dengan ejaan lama; Petamboeran. Asal kata Petamboeran adalah tamboer. Menggunakan google-translate, tamboer ternyata kata dalam Bahasa Belanda yang berarti rebana. Dalam Bahasa Melayu juga terdapat kata tamboer, yang berarti rebana. Tidak diketahui apakah Belanda mengambil kosa kata Melayu, atau sebaliknya.

Yang pasti, tamboer atau tambur (dalam ejaan baru) yang dimaksud bukan alat pukul besar seperti biasa digunakan kelompok musik tanjidor, marching band, dan drum band. Di masyarakat Melayu di Sumatera dan Kalimantan, bermain rebana disebut tamboeran atau tetamboeran.

Masyarakat Betawi mengenal alat musik rebana, yang notabene adalah tambur dalam bentuk dan ukuran yang lebih kecil. Rebana yang lebih besar, meski dalam bentuk yang sama, disebut rebana biang. Orang Belanda tidak mengenal rebana. Yang mereka tahu, alat musik pukul – apa pun bentuk dan ukurannya – adalah tambur

Jika menggunakan teori toponomi, atau asal usul penamaan tempat atau wilayah, sangat tidak mungkin nama Petamburan berasal dari kata tamboer atau tamboeran. Toponimi terdiri dari dua kata; topo – yang berasal dari kata topografi — atau rupa bumi, dan nimi yang berarti penamaan. Tamboer atau tamboeran bukan rupa bumi atau topografi.

Namun, seperti pada banyak kasus, orang-orang Belanda kerap memperhitungkan kearifan lokal saat menentukan nama tanah partikelir. Ketika secara topografi tidak ada yang dominan yang bisa dijadikan nama tempat, aktivitas masyarakat di dalamnya menjadi pertimbangan.

Melacak Grogol Petamburan
Memperhatikan peta tanah-tanah partikelir, kata Grogol telah ada sejak era VOC. Kata itu digunakan untuk memberi nama tanah partikelir di tepi Sungai Grogol. Dalam salah satu peta Frederick de Haan, diperkirakan dibuat pada akhir abad ke-18, wilayah yang saat ini bernama Grogol Petamburan adalah grasslanden, atau padang rumput yang membentang sampai ke rawa-rawa tidak jauh dari Pesing. Padang rumput dan rawa itu diperkirakan dikelola VOC untuk budi daya rumput, termasuk padi grogol, sebagai pakan ternak.

Andries Teisseire dalam catatan tentang tanah-tanah partikelir Ommelanden menulis; De heer Andries Hartsinck, Opperkoopman en gewezen Opperhoofd van Soerakarta, heeft op deszelfs landgoed Japan, gelegen twee uren gaans van de stad, een goed steenen woonhuis, en op het uitgestrekt land Grogol, gelegen twee en een kwart uur gaans van de stad eertijds een eigendom van wijlen den heer Gouverneur Generaal Reinier de Klerk een groot steenen huis en verscheidene ruime gebouwen. (Andries Hartsinck, Opperkoopman dan mantan Kepala Surakarta, memiliki tanah Japan, dua jam perjalanan dari kota, tempat tinggal batu yang bagus, dan di tanah yang luas Grogol, dua seperempat jam dari kota satu kali dimiliki oleh almarhum Gubernur Jenderal Reinier de Klerk sebuah rumah batu besar dan beberapa bangunan luas).

Inad, yang merupakan istri dari Rustam Effendi, mantan Walikota Jakarta Barat dan Jakarta Utara itu menambahkan, De Klerk dan Hartsinck bukan pemilik Grogol pertama. Mauritz Theodorus Hilgers tercatat yang kali pertama memiliki Grogol. Ia menyodet Sungai Grogol, dan mengalirkan airnya ke kanal yang disebut Kali Grogol, untuk membasahi tanah pertaniannya. Kali Grogol diperpanjang sampai ke grassland, wilayah yang kini bernama Grogol Petamburan, dan terus ke Sungai Krukut.

Pada tahun-tahun berikut, ketika wilayah tidak jauh dari Kali Grogol dieksploitasi, sepanjang Kali Grogol menjadi rawan sengketa. Mulai dari penipuan luas tanah, sampai pembangunan bendungan ilegal oleh perorangan, atau sekelompok petani dari etnis tertentu. Landmeeter (juru ukur) Bartel van der Valk, dalam laporannya ke Collegie Heemraden tahun 1697, bertutur tentang Lampidia – seorang kapten masyarakat Bali – yang memiliki tanah dan harus membayar pajak 40 rijksdalders.

Hendrik E Nuemeijer dalam Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVIII, menulis antara 1730-1731 pemerintah VOC mengadalan penertiban bendungan di sepanjang Kali Grogol. Sebanyak 20 pemilik bendungan, kebanyakan pemilik persawahan tidak terlalu besar, diminta datang oleh jaksa wilayah dan memperlihatkan surat ijin pembangunan bendungan. Tidak satu pun dari mereka memilikinya.

Wakil jaksa wilayah mengadakan inspeksi mendadak ke sepanjang Kali Grogol, dan menemukan 50 bendungan ilegal. Sebanyak 38 bendungan milik orang Bali dan Jawa. Lainnya milik orang Eropa dan mestizo, atau warga keturunan Spanyol dan Portugis, yang menyewa tanah di tepi Kali Grogol untuk perkebunan.

Saat semua itu terjadi, Grasslanden – atau hamparan padang rumput dan padi grogol – nyaris belum terjamah. VOC mengelola langsung kawasan ini sebagai penyedia pakan ternak dan kuda untuk mengurangi ketergantungan dari tanah-tanah partikelir. Saat itu budidaya rumput adalah bisnis menguntungkan; menghasilkan uang dalam waktu cepat, tanpa investasi mahal dan perawatan. VOC hanya membayar pemotong rumput, yang terdiri dari pekerja bebas.

Grasslanden diperkirakan mulai dijajakan ke investor pada paruh kedua abad ke-18. Pada dekade pertama abad ke-19, Grasslanden menjadi sasaran Kongkoan (dewan masyarakat Tionghoa) Batavia yang membutuhkan tanah pemakaman. Claudine Salmon, dalam Ancient Chinese Cemeteries of Indonesia as Vanishing Landmarks of the Past (17th-20th c.), semula Kongkoan mengincar Ketten (Grogol – red). Setelah itu sasaran menyebar ke Slipi Zuid dan Tandjong.

Tandjong yang dimaksud adalah wilayah Grogol Petamburan saat ini. Setelah Kongkoan Batavia membangun Klenteng Dewa Neraka, Tandjong mendapat tambahan Tepekong, dan populer dengan sebutan Tandjong Tepekong. Wilayah pemakaman ini membentang tidak hanya seluruh Gransslanden, tapi juga ke Slipi Noord dan Tomang. Perluasan juga terjadi sampai ke Tandjong Lengkong, yang kini menjadi Tanjung Duren Utara.

Sampai awa abad ke-20, Tandjong Tepekong masih berfungsi sebagai tempat pemakaman. Kumuran orang Tionghoa, dengan bongpay dan bangunan indah terhampar di tanah cukup luas. Tanah-tanah yang belum dimanfaatkan sebagai makam, dikelola warga untuk bercocok tanam dan mendirikan permukiman semi permanen.

Peta Batavia 1912, terlampir dalam Verslag van den Toestand der Gemeente Batavia over 1912, memperlihatkan betapa tidak pernah ada nama Grogol Petamburan. Yang ada adalah Tandjong Tepekong, Tandjong, dan Tepekong. Fakta ini memperlihatkan sangat sulit melacak penamaan Grogol Petamburan untuk sebidang tanah yang sebenarnya tidak pernah menyandang kedua nama itu. Kalau pun ingin berspekulasi, wilayah yang saat ini menyandang nama Grogol Petamburan karena dilewati Kali Grogol.
Ketika Landgoed Grogol dan Japan berdiri, tanah partikelir Petamburan belum ada. Saat itu yang ada hanya tanah partikelir Tanah Abang. Petamburan, atau Petamboeran seperti tertera dalam arsip Hindia-Belanda, diperkirakan dibuka pertengahan abad ke-19.

Regerings-Almanak Voor Nederlandsch Indie 1867 mencantumkan Langoed Petamboeran dimiliki Pangeran Sjarif Abdul Rachman bin Pangeran Sjarif Hamid Alkadrìe, putra mahkota Kesultanan Pontianak. Saat itu Petamboeran adalah persawahan dan kebun kelapa. Tidak ada catatan jumlah penduduk dalam Bevolkingstatiestiek van Java 1870.

Ketiadaan penduduk di tanah partikelir Petamburan menyebabkan sulit melacak kemungkinan adanya tradisi bermain rebana masyarakat kampung. Namun jika sejenak melihat ke belakang, Landgoed Tanah Abang adalah melting pot dengan masyarakat berbagai latar belakang etnis tinggal di dalamnya. Warga bebas Melayu, misalnya, menetap di sini. Status warga bebas adalah mereka yang tidak pernah menjadi budak VOC, atau ikut dalam ekspedisi militer.

Mereka berbaur dan membangun identitas baru. Orang Melayu mewarisi tradisi bermain rebana, dan dipertunjukan saat perayaan hari-hari besar keagamaan, pernikahan dan khitanan. Kawin-mawin di antara mereka melahirkan entitas baru, yang kita kenal sebagai Orang Betawi. Rebana menjadi tradisi berkesenian masyarakat Betawi di sekujur Tanah Abang. Di Petamburan, sebelum menjadi tanah partikelir, kesenian rebana berkembang dan menyebar ke wilayah lain.

Petamburan tidak hanya nama tanah partikelir, tapi juga tempat pemakaman masyarakat elit Batavia. Tahun 1874, TPU Petamburan menjadi sangat populer dengan hadirnya mausoleum OG Khouw, landheer (tuan tanah) Tambun dan salah satu keluarga Cabang Atas – atau masyarakat elit Tionghoa – Batavia.

Tanah partikerlir Petamboeran berganti kepemilikan di awal abad ke-20. Verslag van den Toestand der Gemeente Batavia over 1917 menunjukan tanah itu dimiliki Sech Oemar bin Joesoef Mangoes, disewakan sebagai perkebunan, persawahan, dan budi daya rumput. Bersamaan dengan itu sebuah kampung, dengan nama Petamboeran, muncul.

Tidak jauh dari Petamburan, kampung kampung lain; Selipi, Kotabamboe, Pekembangan, Bendoengan, dan lainnya, mulai berkembang. Penghuninya adalah para buruh petani dan pekerja serabutan di pasar-pasar atau proyek-proyek pembangunan di Batavia.

Di luar landgoed Petamboeran, tahun 1915 Koninklijke Paketvaart Maatschappi (KPM) mendirikan rumah sakit berkapatitas 150 kamar untuk pelaut yang menderita sipilis dan TBC. Rumah sakit yang dirancang arsitek terkenal F. J. L. Ghysels itu diberi nama KPM Petamboeran. Sebelumnya, pada dekade pertama abad ke-20, Milkerij Petamboeran – peternakan tertua dalam sejarah industri susu Batavia – hadir Palmerah, wilayah yang masuk Landgoed Grogol.

Kehadiran Milkerij Petamboeran menandai pertemuan dua nama; Grogol Petamboeran. Namun, nama ini tidak pernah digunakan pemerintah Hindia Belanda. Padahal, sebelum Milkerij Petamboeran bangkrut, wisatawan mancanegara menyebutnya Milkerij Grogol Petamboeran.

Status Petamboeran sebagai tanah partikelir bertahan sampai 1953. Saat itu Petamboeran dimiliki Stichting Saleh Abdat Wakaf. Tidak ada catatan lain soal tanah partikelir ini, selain dikelola sebagai tanah pertanian dan budi daya rumput.

Penduduk Grogol Petamburan
Setelah diubah menjadi tanah partikelir, grasslanden tidak pernah menjadi perkebunan dengan pendatang bermukim di dalamnya. Seperti semua tanah Kongkoan Batavia, grassland – yang kemudian menjadi Tandjong, Tandjong Tepekong, dan Tepekong – kedatangan para penggarap, tapi Kotamadya Batavia tidak pernah mendata penduduk di dalamnya.

Tahun 1914, ketika Djembatan Doeren (Jembatan Duren – red) selesai dibangun dan pendatang dalam jumlah besar berdatangan, Tandjong dan Tandjong Tepekong tetap tidak pernah disebut kampong, atau pemukiman. Jembatan No 58, demikian pemerintah Hindia-Belanda menyebut Jembatan Duren, membuat masyarakat Tionghoa tidak lagi kesulitan berziarah ke makam leluhur.

Dalam peta Batavia 1917, tidak ada nama Djembatan Doeren, yang ada adalah Djembatan Doeri. Sebutan lainnya adalah Djembatan Grogol. Nama Djembatan Doeren diperkirakan muncul setelah jalan dari Kali Grogol ke mulut Bacheratsgracht atau Kali Angke di Pesing dibangun. Pedagang dari Tangerang tidak lagi melulu melewati Kali Angke untuk sampai ke kawasan Glodok, begitu pula sebaliknya. Seiring makin ramai urat nadi perekonomian, Grogol yang kita kenal saat ini mulai ramai.

Tahun 1920-an, tanah-tanah di sekitar Jembatan Duren memiliki nama baru, yaitu Tandjong Djembatan Doeren. Dalam The Decline of the Chinese Council of Batavia, Monique Erkelens menulis tahun 1930 Kongkoan Batavia berencana membeli seluruh tanah Tandjong Djembatan Duren, tapi gagal. Kongkoan Batavia gagal mengoleksi dana untuk pembelian tanah itu akibat krisis ekonomi.

Nama Tandjong Djembatan Doeren muncul setelah penduduk di tanah pemakaman Tandjong dan Tandjong Tepekong membuka perkebunan duren di sepanjang Kali Grogol. Saat panen duren tiba, sekujur Jembatan Grogol dipenuhi masyarakat yang menjajakan buah durian. Dari ini, durian diangkut ke berbagai tempat di Batavia. Tahun 1964, nama Tanjung Duren diabadikan sebagai nama permukiman lewat Undang-undang Tentang Administratif Jakarta No. 10 tahun 1964.

Grogol Populer
Tahun 1928, Grogol Petamburan yang kita kenal saat ini nyaris kehilangan Kali Grogol. Saat itu pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menguruk kali, karena volume air – terutama saat kemarau – sering tidak sebanding dengan kapasitas kali.

Di musim penghujan, Kali Grogol berkontribusi terhadap banjir di Batavia, dan diperkirakan mengancam masa depan kota tua.

Pengurukan membuat Kali Grogol menyempit, dan dampak luar biasa dirasakan seperempat abad kemudian. Tahun 1950, Grogol menghadapi bencana banjir paling parah. Sekujur Grogol terendam. Permukaiman di Jl Semeru, Jl Mawardi, Jl Makaliwe, dan sekitarnya, tergenang berhari-hari.

Tahun 1960, Grogol populer lagi. Kali ini bukan akibat banjir, tapi oleh keputusan pemerintah membangun Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Masyarakat Jakarta sekitar tahun 1970-an kerap mengkonotasikan Grogol dengan rumah sakit jiwa. Muncul istilah-istilah yang menggunakan nama Grogol, untuk merujuk pada individu memiliki gangguan jiwa. Misal, “…..maklum baru pulang dari Grogol.” Atau, “……jangan sampe dibawa ke Grogol.”

Grogol, tanpa Petamburan, masih memiliki peninggalan masa lalu terpelihara, yaitu Gegraven Grogol atau Hilgersweg. Namun apakah kita sadar bahwa sejarah Grogol Petamburan dimulai dari seutas kali buatan itu.