Ingin Tahu Asal Usul Nama Kembangan? Simak Cerita Inad Luciawaty Berikut Ini

by -59 Views
WhatsApp Image 2023 09 20 at 12.26.51

RadarKota – Tidak mudah melacak nama Kembangan di era VOC. Andries Teisseire sama sekali tak menyebut nama ini. Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indië 1867 tidak mencantumkan nama Kembangan dalam Staat der Perkuliere Landerijen.

Inad Luciawaty punya informasi menarik soal hal tersebut. Berdasarkan buku yang dia baca berjudul Topinimi Jakarta Barat yang ditulis oleh dua wartawan senior, Teguh Setiawan dan Amin Suciady, dalam salah satu peta Frederick de Haan bertahun 1770, peta tanah partikelir antara Sungai Ciliwung, Angke, dan Ciputat, terdapat nama Pakembangan – bersama tanah partikelir di dekatnya; Sukabumi, Kabon Jeruk, Pondok Terung, dan lainnya.

Namun, sambung Inad, dalam Nieuwe Bijdragen tot de Kennis der Bevolkingstatistiek van Java 1870, P Bleeker memasukan Pakembangan ke statistic kependudukan. Pakembangan juga tertera dalam novel karya Hella S. Haasse, yang berlatar belakang Ommelanden pertengahan abad ke-20. Dalam salah satu narasinya, Haase menyebut Keluarga Muntingh sebagai pemilik tanah partikelir Pakembangan.

Menurut Inad, yang saat ini maju sebagai calon anggota legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) nomor urut 3 ini, jika melihat peta lama koleksi De Haan dan nama-nama tanah partikelir sekeliling yang kini menjadi nama kelurahan, Pakembangan yang dimaksud adalah Kembangan, nama kecamatan dan kelurahan di Jakarta Barat saat ini. Pertanyaannya, kapan nama Pakembangan muncul?

Melacak nama Pakembangan, yang kemudian menjadi Kembangan, bukan perkara mudah. Selain tidak ada catatan awal pembukaan tanah-tanah partikelir sepanjang Sungai Angke, terutama sebelah selatan Rawa Buaya, Pakembangan juga tidak tercatat dalam peta tanah partikelir. Namun, narasi Hendrik E Niemeijer dalam Batavia: Masyarakat Kolomial Abad XVII sangat membantu.

Masih menurut buku Toponimi Jakarta Barat yang dibaca Inad, Ommelanden atau kawasan luar tembok kota Batavia, mulai dieksploitasi sebagai perkebunan setelah Perjanjian Damai VOC-Banten ditandantangani 1659. Namun menurut Niemejer, tidak berarti sebelum itu – atau saat perang berkecamuk – tidak ada pembukaan dan penggarapan lahan. VOC telah masuk ke Ommelanden sejak 1640-an untuk membuka lahan dan menjualnya kepada para burger, atau warga bebas Belanda.

Namun, hanya sedikit yang mengubah lahan menjadi perkebunan. Lainnya, terutama pemilik lahan yang cukup jauh dari Batavia, membiarkan tanah yang dibeli terlantar. Mereka tidak ingin mengambil risiko; mengeluarkan banyak uang, sedangkan perang VOC-Banten masih berlangsung.

“Di buku itu juga dijelaskan, orang Tionghoa dan Mardijker mengambil sikap serupa. Sedikit pribumi Muslim pemilik tanah mencoba mengambil keuntungan dari situasi ini, tapi akses ke tanah mereka yang sulit menyebabkan tidak banyak hasil diperoleh. Pemilik tanah lainnya, terutama orang-orang Asia, lebih suka menunggu sampai perang usai,” ujar Inad yang akan bertarung di daerah pemilihan 10 Jakarta Barat, meliputi Kecamatan Grogol Petamburan, Kecamatan Taman Sari, Kecamatan Kebon Jeruk, Kecamatan Palmerah dan Kecamatan Kembangan.

Inad, yang merupakan istri dari Rustam Effendi, mantan Walikota Jakarta Barat dan Jakarta Utara itu menambahkan, lahan-lahan di sepanjang Sungai Angke, terutama di sebalah selatan Rawa Buaya, bukan tanah partikelir besar. Luas setiap lahan antara delapan sampai 17 hektar. Menurut Niemeijer, pada tahun 1650-an, sekitar 3000 orang lalu-lalang di lahan-lahan sepanjang Sungai Angke. Mereka adalah buruh tani dan pemilik lahan. Mereka menanam padi, sayur-mayur, dan komoditas lain.

Satu komoditas yang tidak tercatat adalah bunga atau kembang. Komoditas yang dikonsumsi masyarakat kelas menengah ke atas Batavia; kulit putih dan Tionghoa, untuk berbagai perayaan. Budi daya bunga, dengan berbagai jenis, dilakukan sedikit orang dan di tanah tidak cukup luas. Pada waktu-waktu tertentu, bunga-bunga segar dibawa ke Batavia. Penduduk lokal pun menggunakan bunga tertentu untuk perayaan pernikahan dan lainnya.

Tidak diketahui sampai kapan budi daya bunga di tepi Sungai Angke ini berlangsung. Yang pasti, ketika industri gula menjamur di sekujur Ommelanden tidak ada lagi perkebunan kembang. Wilayah kebun kembang itu pun menjadi tanah partikelir bernama Pakembangan, bersama Kebon Jeruk, Soekaboemi, Senajang, Pondok Pinang, Mangisan, Tanah Koesir, dan lainnya.

Peta De Haan menginformasikan Pakembangan, bersama tanah-tanah partikelir yang disebutkan di atas, dimiliki para opsir Tionghoa. Semua itu terjadi pada awal abad ke-18, ketika sekujur Ommelanden – terutama sepanjang Sungai Pesangrahan dan Angke – disulap menjadi perkebunan tebu.

Di Pakembangan, Poa Keng Ko – salah satu pengusaha gula Ommelanden – membuka penggilingan tebu (suiker molen) dan pabrik gula di tepi Sungai Angke. Ia menyewa lahan Pakembangan, mendatangkan banyak tenaga kerja, dan menyewa kerbau yang memutar gilingan tebu, Poa Keng Ko mengoperasikan dua suiker molen, dengan sekujur Pakembangan disulap menjadi perkebunan tebu.

Di sekujur Sungai Angke, suiker molen milik Poa Keng Ko adalah dua dari sebelas penggilingan tebu. Saat itu industri tebu Ommelanden mencapai puncak keemasan. Semua yang bermain di industri tebu; pemilik lahan, pekebun, pemilik pabrik, penyedia kayu bakar, dan buruh, menikmati kemakmuran dari tebu.

Memasuki 1730, industri gula Ommelanden mengalami kemuduran. Penyebabnya, biaya produksi yang semakin tinggi. Di pasar internasional, harga gula Ommelanden sulit bersaing dengan gula dari India dan lainnya. Tingginya harga gula disebabkan kian mahalnya harga kayu bakar. Di masa asal pembukaan industri gula, setiap pengusaha tinggal tebang pohon yang ada di tanah mereka. Penebangan terus-menerus menyebabkan kayu bakar habis, dan pengusaha gula harus mendatangkan kayu bakar dari luar.

Situasi ini diperkirakan berlangsung sejak 1720, di puncak industri gula Ommelanden. Di Pakembangan, Poa Keng Ko terbebani biaya tinggi tidak hanya akibat tingginya harga kayu bakar tapi juga sewa alat produksi. Salah satunya, sewa kerbau. Industri gula Pakembangan mungkin yang kali pertama mengalami kemunduran, setelah itu suiker molen sepanjang Sungai Pesangrahan mengalami nasib sama.

Tahun 1740, industri gula Ommelanden benar-benar kritis. Aanmerkingen over de zuykermolens rondom Batavia in t Bantamse Ceribonse en langs Java, atau Komentar tentang Pabrik Gula di Sekitar Batavia, Banten, Cirebon, dan sepanjang Pulau Jawa, yang ditulis J Mossel menyebutkan suiker molen di Sungai Angke yang semula berjumlah enam tibb-tiba tinggal lima. Nasib lebih mengenaskan dialami industri gula Sungai Pesangrahan, dari 23 suiker molen menyusut menjadi delapan.

Penduduk Pakembangan

Kehancuran industri gula Ommelanden berdampak serius. Di Pakembangan, buruh meninggalkan woningen, rumah petak tak jauh dari suiker molen yang sekian tahun mereka tempati. Jumlah mereka mencapai ratusan. Bersama buruh-buruh lain dari suiker molen sekitarnya, tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan mencapai ribuan.

Di Maroedja (Meruya – red), seluruh dari enam suiker molen tutup. Ratusan pekerja meninggalkan woningen. Sebagian ke kota untuk mencari peruntungan. Lainnya, yang masih punya kampung halaman di desa-desa di Jawa Tengah dan Jawa Barat, pulang kampung. Buruh-buruh Tionghoa membanjiri bagian luar tembok kota, hidup menggelandang, dan menimbulkan masalah sosial.

Pakembangan setelah kehancuran industri gula adalah hamparan lahan kosong. Jika masih ada yang tergarap mungkin hanya sedikit sawah, dan kebun sayur. Semula, sawah dan kebun sayur dibuat untuk menjaga pasokan pangan untuk para pekerja, Kini, kedua komoditas itu dibawa keluar Pakembangan dan dijual.

Entah sampai kapan Pakembangan menderita akibat kehancuran industri gula. Yang pasti, Pakembangan pada abad ke-19 adalah salah satu dari sedikit partikuliere landerijen yang tak banyak dihuni penduduk.

P Bleeker, dalam Nieuwe Bijdragen tot de Kennis der Bevolkingstatistiek van Java 1870, mencatat hanya ada satu kampung dengan 151 penduduk pada paruh kedua abad ke-19. Pakembangan menjadi tanah partikelir sepi penduduk di Distrik Kebayoran. Luas Pakembangan juga tidak diketahui. Bandingan dengan populasi tanah partikelir lainnya; Kebon Jeruk dan Soekaboemi, yang dihuni lebih 2.000 penduduk.

Saat industri gula Ommelandan mencapai puncaknya, Pakembangan adalah rumah bagi lebih seribu buruh perkebunan tebu dan suiker molen. Di Pakembangan, pemulihan setelah kehancuran industri gula Ommelanden seolah tidak mudah dan butuh waktu lama.

Memasuki abad ke-19, tidak ada lagi cerita tentang tanah partikelir Pakembangan. Tanah partikelir ini juga telah berubah, orang-orang Betawi pemilik tanah, dengan komoditas yang ditanam sedemikian beragam; mulai dari padi, sayur-mayur, dan buah-buahan.

Tidak diketahui bagaimana perjalanan tanah Pakembangan. Yang pasti, nama Pakembangan muncul Daftar Tanah-tanah Partikelir Jang Belum Dikembalikan. Daftar itu terlampir dalam pidato Manteri Dalam Negeri di Parlemen pada 12 Februari 1953. Dalam daftar tertera, tanah Pakembangan seluas sepuluh hektar dimiliki Tan Joe Nio, ahli waris dan istri Liauw Keng.