RadarKota – Cililitan adalah nama spruit, atau sungai kecil yang berhulu di rawa-rawa. Cililitan terdiri dari dua kata dalam Bahasa Sunda, yaitu ci dan lilit.
Ci adalah air. Kata ini banyak digunakan untuk nama sungai di Jawa Barat. Lilit adalah tanaman perdu bernama latin Pipturus velutinus Wedd.
Di era VOC dan Hindia Belanda, Cililitan punya nama lain, yaitu Lebak Sirie atau Lebak Sirih. Nama ini tertera di beberapa catatan tanah partikelir, sebagai pendamping Cililitan. Misal, Tjililitan of Lebak Sirie, artinya; Tjililitan atau Lebak Sirih.
Lebak Sirih punya arti. Lebak adalah kata dalam Bahasa Sunda untuk menyebut tempat air tergenang dengan lumpur dalam. Sirie atau Sirih, adalah tanaman asli Indonesia yang tumbuh merambat pada batang pohon lain. Nama Latin sirih adalah Piper betle.
Dibanding Cililitan, nama Lebak Sirie tak terwariskan di masyarakat. Nama itu hanya tertera dalam catatan tanah partikelir.
Jika Cililitan nama spruit atau sungai kecil, Lebak Sirie memberi gambaran kepada kita tentang kondisi wilayah saat itu. Cililitan saat dipetakan adalah rawa dengan tanaman sirih mendominasi.
Jadi, Cililitan adalah ekosistem lahan basah. Di musim penghujan, Cililitan adalah rawa yang menampung air dari spruit, dengan tanaman perdu di sekujurnya.
Tuan tanah pertama Cililitan adalah Pieter van der Velde. Ia menyatukan Cililitan dengan tanah partikelir Tanjung Ost. Hendrik Laurens van der Crap mengambil alih Cililitan dan membangun landhuis, atau rumah pedesaan tahun 1775.
Ketika mengunjungi Cililitan tahun 1792, Andries Teisseire mencatat tanah partikelir itu dimiliki Anna Christina Houtman, janda van der Crap.
Van der Crap dan Anna Christina Houtman tidak memiliki anak. Ia mengadopsi seorang budak bernama Estaga van Boegis dan diberi nama Hendrik Christian. Namun, tidak ada surat wasiat yang menyebut Hendrik Christian mewariskan Cililitan.
Sebagai petinggi VOC, Van der Crap dan istri tahu peraturan bahwa anak adopsi yang berasal dari budak tidak boleh menjadi ahli waris. Sebagai tanah partikelir tanpa pemilik, Cililitan berada di bawah pengawasan VOC sampai akhir abad ke-18.
Pada pertengahan abad ke-19, Cililitan jatuh ke tangan tuan tanah Tionghoa. Salah satu Keluarga Khouw, yaitu Khouw Tjeng Tjoan, menguasai tanah itu tahun 1865.
Di penghujung abad ke-19, Cililitan dikuasai Kulturmaskapai Tjelilitan dengan E d’Hollosy sebagai pengelola. Setelah Pemberontakan Petani Condet pimpinan Entong Gendut, pemerintah Hindia Belanda mengakhiri status Cililitan sebagai tanah partikelir.