RadarKota – Kemajuan teknologi informasi membuat semua orang berkesempatan untuk menjadi influencer di media sosial. Tidak perlu menjadi artis atau publik figur terlebih dahulu, kini masyarakat awam juga memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat luas.
Masalahnya, tidak semua orang memberikan feedback positif dengan apa yang disampaikan oleh influencer lewat informasi yang mereka sampaikan. Ketika sudah menjadi konten yang dikonsumsi masyarakat, apalagi jika mengandung kontroversi, tidak jarang hal yang mereka omongkan menjadi bumerang bahkan berujung laporan pidana lantaran dicap menjelekkan nama baik.
Salah satu sosok yang pernah tersandung kasus sejenis adalah seorang influencer. Kala itu, pada 2021, influencer tersebut berseteru dengan artis Kartika Putri setelah mereview salah satu produk kecantikan yang dianggapnya berbahaya, di mana kemudian ia disomasi oleh sang artis.
Menanggapi fenomena ini, Pakar Strategic Mass Communication Tuhu Nugraha meminta kepada para influencer agar lebih berhati-hati dalam memberikan pernyataan dan membuat konten di media sosial. Ia meminta kepada para influencer agar lebih berhati-hati dalam memberikan pernyataan mengenai suatu produk, terlebih hal-hal yang bukan dari keahliannya.
“Ini menurut saya juga bukan pada kompetensi dan tempatnya, mereka juga perlu berhati-hati untuk membuat statement yang bukan area keahliannya,” kata Tuhu dalam keterangan tertulis yang diterima. Menurutnya, selain bisa membuat reputasi sang influencer rusak, persepsi publik juga akan menunjukkan reaksi yang tidak bisa dikendalikan.
“Harus ada proses verifikasi dan mengecek keaslian data sebelum menyampaikan ke publik. Selain itu publik juga bisa menuntut agar influencer menyajikan data asli yang sudah diverifikasi. Karena sekali rusak, maka untuk memulihkan kembali membutuhkan waktu, dan biaya yang tak murah. Sementara persaingan influencer saat ini juga sangat ketat,” kata dia.
Menurutnya, perlu ada etika content creator dan influencer, bahkan harus dibentuk Dewan Pengawas untuk memonitor influencer. “Karena dampaknya pada masyarakat, dan bahkan juga bisa berdampak material dan reputasi. Sementara, di pihak influencer kompetensinya sangat beragam, tetapi audiensnya kan tidak bisa membedakan itu, dan dampaknya bisa sangat berat,” katanya.
Untuk itu, Tuhu pun meminta agar masyarakat lebih kritis ketika mendapatkan informasi atau statement keluar dari seorang influencer. “Dipikir ulang apakah dia ahli di bidangnya? Bagaimana dengan pendapat ahli lain dan sumber lain? Konsumen bisa membandingkan dari mesin pencari, otoritas atau AI,” kata Tuhu.
“Saya selalu menerapkan zero trust info di internet terutama isu krusial. Saya akan mengecek informasi lebih lanjut dari beragam sumber, apalagi sekarang ada teknologi deepfake AI,” tutupnya.